Oleh: Adam Andriantama Bayu Aji
MASA-MASA kelam dunia terjadi beberapa bulan terakhir disebabkan oleh pandemi Covid-19. Corona Virus Disease pertama kali dideteksi dan ditemukan di kota Wuhan, China.
Karena penyebaran virus yang masif, maka WHO sebagai organisasi kesehatan dunia mengumumkan bahwa virus corona ini termasuk kategori pandemi.
Hal ini membuat beberapa negara di dunia yang terdampak langsung menerapkan lockdown, terkecuali Indonesia. Saat negara-negara di dunia menerapkan lockdown, justru pada saat itu Indonesia belum juga mengambil sikap. Dengan dalih “Corona tidak akan bisa hidup dan berkembang di negara tropis. Masyarakat kita kuat maka tidak perlu khawatir terhadap corona”.
Begitulah beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh pejabat publik Indonesia. Tidak khawatir sama sekali.
Virus corona akhirnya tersebar di Indonesia. Dua warga depok, Jawa Barat sekaligus menjadi orang yang pertama kali terdampak virus tersebut. Setelah itu pasien-pasien Covid-19 bertebaran di rumah sakit dan banyak yang meregang nyawa disebabkan oleh virus tersebut.
Per-tanggal 8 Mei 2020, data warga Indonesia yang terjangkit virus corona adalah : positif, 13.112 orang; Sembuh, 2.494; Meninggal, 943. (www.covid-19.go.id)
Hemat penulis, pemerintah kurang responsif dalam penanggulangan virus ini; sehingga puluhan ribu kasus terjadi dan ratusan orang yang harus meregang nyawa. Jika saja pemerintah bersikap responsif terhadap wabah pandemi ini maka penulis yakin tidak akan sebanyak itu kasus yang terjadi.
Di tengah pandemi, pemerintah justru mendahulukan efektivitas dari kartu pra-kerja dibanding bantuan langsung tunai atau bantuan sembako kepada masyarakat yang terlihat lambat dalam pendistribusiannya.
Menurut pemerintah ini sebuah terobosan, justru menurut penulis ini merupakan kegagapan dari pemerintah. Karena pemerintah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membayar kerja sama dengan vendor perusahaan penyelenggara pelatihan pra-kerja.
Bagi teman-teman aktivis, ini dipandang sebagai realiasi dari kepentingan kelompok elite atau birokrat yang menjurus kepada pemerintahan yang oligarki.
Dan yang lebih ironis, banyak daerah-daerah yang telah menerapkan PSBB, namun bantuan untuk masyarakat belum juga didapat. Padahal jika kita merujuk pada PP No. 21 Tahun 2020 dalam pembatasan sosial berskala besar pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Dalam UU tersebut termaktub, selama karantina wilayah (PSBB) kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat bersama pemerintah daerah.
Pemerintah menyamarkan kata “karantina wilayah” dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), padahal secara penafsiran gramatikal kata tersebut memiliki arti yang sama.
Dalam UU No. 6 Tahun 2018 juga yang termaktub adalah karantina wilayah bukan PSBB; hal ini telah mencederai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Jelas tergambarkan kegagapan pemerintah dalam penanganan dan penanggulan pandemi Covid-19. Atau mungkin disengaja untuk menghindari tanggung jawab kepada masyarakat seperti yang termaktub dalam Pasal 55 UU No.6 Tahun 2018.
Pada akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa pemerintah kurang responsif dan akomodatif. Pemerintah terlalu mementingkan ekonomi dibanding nyawa.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang.