TUAN lama sudah pulang, puluhan tahun menggenggam kendali turun-menurun. Sang bapak menanam bibit, para keturunan merawat hingga tumbuh. Sebelum berbunga mekar, sang anak harus faham bahwa akar yang ditaman berada di lahan bersama. Ada aturan dan batasan, siapa pun berkenan untuk membesarkan.
Para ilmuan terkemuka dunia mempunyai kesamaan pandangan: kekuasaan merupakan alat utuk mengakumulasikan kepentingan umum dan harus diwujudkan, maka wajib dibatasi. Bukan saja persoalan teritorial, lebih jauh lagi menyoal jangka waktu. Demi mempersempit ruang penyelewengan bagi para pemangku kebijakan.
Puluhan ribu hektare luas wilayah, jutaan jiwa, hingga ribuan industri melekat pada Tangerang. Kini bumi gemilang kembali membuka gerbang, siapa pun berhak masuk, untuk sekadar berkunjung, menetap bahkan ikut berkontestasi dalam memperebutkan kekuasaan.
Tidak sesulit dahulu, merebut kendali kota seribu industri harus berhadapan dengan para dinasti. Tentunya, keadaan ini harus disambut dengan semangat tinggi, sebagai langkah awal membangun peradaban menuju perubahan. Terlebih, bagi para kaum akademisi, mahasiswa hingga seluruh elemen organisasi masyarakat perlu andil dalam momentum saat ini.
Baca Juga
Tidak berlebih kiranya jika kondisi saat ini diumpamakan sebagai starting point bagi para kaum terdidik, pergerakan hingga masyarakat yang mempunyai harapan besar akan kemajuan Tangerang. Sudah barang pasti, banyak sekali cara maupun langkah yang dapat diupayakan. Sebagai contoh, mengisi ruang hampa dengan gagasan berisi, membangun narasi-narasi yang mengarah pada ranah-ranah esensial. Mempertegas pemikiran yang seharusnya, mengedepankan kepentingan semua pihak, bukan hanya berada di lingkaran segelintir orang.
Sebagai langkah awal, kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat perlu dieratkan. Terlebih pada kelompok masyarakat yang memiliki konsentrasi pada isu-isu pembaharuan, mendongkrak status quo. Kolaborasi yang menghasilkan sebuah inovasi dan gagasan akan mampu menggeser titik fokus pemikiran agar dapat keluar dari zona nyaman yang tidak memberikan dampak signifikan pada kemajuan.
Akumulasi pemikiran para kaum akademisi akan problematika eksitensial di kota seribu industri perlu ditebar, bukan hanya sekedar berkutat pada konsep ilmu pengetahuan dan ideologi. Lebih dari pada itu, konsen terhadap konsep kebenaran dan kekuasaan. Tegas dalam mengambil sikap dan pernyataan demi kebenaran. Bukan saja berkutat pada ranah pendidikan.
Di samping itu, disambut oleh sikap kritis dan progresif mahasiswa sebagai pewaris agen perbuhan, menjaga stabilitas esensi demokrasi di tanah kelahiran. Implementasi peran dan fungsinya sebagai social control menjadi jembatan mempererat rangkulan dan memperluas lingkaran solidaritas kombinasi seluruh elemen masyarakat menuju perubahan.
Membangun paradigma baru di kalangan civil society organitation (CSO), yang semula hanya bergerak dalam irama developmentalis. Kini, sudah harus mulai menyuarakan isu pembahasan struktur masyarakat yang timpang dan bentuk-bentuk penindasan lainnya. Sudah semestinya, karena kemajuan negara dalam demokrasi modern bukan saja mengubah indeks angka kenaikan ekonomi mauapun reformasi hukum. Melainkan sejauh mana keikutsertaan masyarakat dalam mengambil setiap kebijakan.
Jika sudah diresapi, mempertajam dan menyeragamkan pandangan bahwa basis pembangunan kekuatan perubahan tidak melulu melalui political will elit. Namun, dapat dilakukan pula dengan machtvorming dan machtwending kekuatan sipil. Masyarakat harus sadar akan keistimewaannya, sebagai reservoir rasional kritis untuk membentuk segala kebijakan bahkan berhak untuk menentukkan siapa pemimpin yang nantinya akan kembali ditagih olehnya.
Jika kesadaran akan hal di atas sudah tertanam, sama halnya membangun sturuktur pondasi pemikiran masyarakat akan pemimpin yang didambakan. Membentuk cara pandang masyarakat akan konstelasi politik di kota bumi gemilang. Kelak, para pemimpin yang muncul di permukaan merupakan sosok yang mampu menjadikan kekuasaan sebagai akses untuk menyentuh atribut-atribut esensial negara seperti, kesejahteraan masyarakat miskin hingga meningkatkan kualitas pendidikan.
Perdebatan yang hadir menyelinap di rongga masyarakat, bukan lagi hanya berkutat pada latar belakang sang tuan. Melainkan langkah-langkah seperti apa yang akan dilakukan demi kesejahteraan. Sebab, pemimpin harus berangkat dari sejauh mana mencium keringat rakyat.
Secara garis besar, masyarakat madani Indonesia memiliki semangat kemandirian tinggi. Walau negara sebagai kekuasaan menentukan (constitutive power) atas masyarakat civil (civil society), tetapi justru civil society-lah yang aktif dan membentuk berbagai macam lembaga atas dasar kebutuhan serta tujuan agar mencapai cita-cita bangsa.
Dari pengalaman tersebut menunjukkan, bahwa masyarkat madani mempunyai posisi sentral: politik meperkembangkan konsepsi tentang negara. Belum lagi, Tangerang masih mempunyai pekerjaan rumah untuk menentukkan arah laju mata angin: agrari atau industri.
Kembali pada topik utama, perlu diingat Tangerang yang memiliki beragam kekayaan perlu dipimpin oleh soeorang pemimpin tangguh, berani mengambil sikap keberpihakan pada kepentingan umum. Menghindari segala bentuk tindakan eksploitatif pada kaum tertinggal.
Arus perkembangan akan menyeret wilayah seribu industri bergulat dengan berbagai macam problematik, kepentingan investor hingga pembangunan menyelimuti kehidupan masyarakat. Lantas, keseimbangan perencanaan berbasis kesejahteraan bergantung pada seorang pemimpin.
Sulit dibayangkan, betapa sembraut wilayah berwajah ungu ini jika dinahkodai sosok yang tidak berpegang teguh pada kewajibannya. Gerakan kolaborasi berbagai elemen masyarakat perlu digalakkan sedini mungkin demi melahirkan pemimpin yang berkomitmen pada kepentingan umum.
Baca Juga
- Setumpuk Persoalan, Sebuah Refleksi Hari Jadi Kabupaten Tangerang
- Sembako Salah Alamat, Penghinaan Terhadap Rakyat
Di tengah megahnya kota ini, masih ada berbagai lubang yang perlu ditambal. Masih banyak para pemuda menahan mimpinya untuk mengeyam pendidikan tinggi, para tani kekurangan bibit bahkan terancam kehilangan lahan hingga para penduduk pesisir yang menginginkan lingkungan hidup sehat dan layak.
Sungguh, sang penguasa mendatang harus memiliki wawasan luas layaknya luas wilayah bumi Tangerang. Tidak hanya meninggalkan jejak gedung megah sebagai standar keberhasilan, melainkan berorientasi pada investasi sosial.
Kini, luas hamparan tanah, ribuan gedung menjulang hingga luas bentangan laut tak bertuan. Sudah waktunya membangun cara pandang baru, kolaborasi dari berbagai lapisan elemen masyarat, kaum pergerakan hingga intelektual menjadi pondasi kokoh akan arah laju keberlangsungan hidup dan mengarah pada ranah-ranah yang perlu dijajaki. Termasuk di dalamnya: politik.
Siasat Sejarah
Menelisik pada sejarah, Tangerang memiliki kisah memilukan. Pasalnya, dalam kurun waktu sejak tahun 2000-an kota yang memiliki ciri khas topi bambu ini digemgan oleh dinasti Iskandar.
Kisah ironi berpuncak pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tangerang tahun 2018 lalu, sebagai wilayah penyangga ibu kota yang memiliki ragam kultural dan kekayaan di berbagai sektor, sang pewaris kekuasaan dibiarkan berhadapan dengan surat sura kosong.
Tentu menjadi pertanyaan besar dan perlu ada yang dibenahi, Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proposional seharusnya menjadi sistem akur terhadap multi partai. Mengingat partai-partai besar selalu ikut serta berlaga di setiap pertarungan merebut kekuasaan di kota seribu industri. Kaderisasi dan regenerasi kader partai menjadi sorotan dan perlu pembaharuan agar terciptanya persaingan serta penyemibang.
Beralih pada konstelasi Pilkada saat ini, meski baru dini namun kegelisahan-kegelisahan mewarnai wajah bumi gemilang. Meski sang tuan sudah pulang, nampaknya budaya kolot yang terlintas dalam sejarah masih mengkerak. Ketokohan dan kekuasaan dijadikan alat selancar untuk bertarung.
Baru-baru ini, setiap sudut bumi gemilang dihiasi baliho orang-orang yang mengklaim diri menjadi calon Bupati. Padahal, rangkaian pemilu saja belum usai. Fenomena itu perlu dikritisi, belum lagi bagi para birokrasi yang seharusnya memiliki mental untuk menahan diri agar tidak terjadinya deinstitusionalisasi. Jika dibiarkan, maka akan pudarnya batasan-batasan kelembagaan.
Lonceng peringatan perlu dibunyikan, menyeru dan berbaris bersama bukan hanya saja untuk mempertahankan nilai-nilai demokratis. Lebih dari itu, menutup ruang budaya feodal yang masih menjalar dalam praktik-praktik berdemokrasi.
Sudah waktunya mengucapkan selamat tinggal kepada pragmatisme politik yang tidak berlandaskan kearifan sejarah, hanya menjauhkan bangsa ini dari cita-cita kemerdekaan.
*Penulis merupakan Asisten Peneliti Visi Nusantara.