Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq*
PEKAN kemarin kita dibikin heboh oleh isi ceramah seorang pendakwah. Dia mengatakan bahwa wayang itu haram. Tak jelas dasar hukum dan argumentasinya. Tapi banyak yang menduga dan “menyeret” bahwa itu bagian dari tasyabbuh.
Saya tertarik urun rembug membincang tentang tasyabbuh ini. Agar jangan sampai sedikit-sedikit tasyabbuh. Sedikit-sedikit tasyabbuh. Tasyabbuh koq sedikit, hehe.
من تشبه بقوم فهو منهم
“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud).
Kalimat di atas merupakan ucapan Nabi Muhammad saw. Hadis ini kemudian dijadikan rujukan oleh umat Islam untuk tidak melakukan tasyabbuh.
Baca Juga
Tasyabbuh itu sederhananya adalah perilaku yang dilakukan oleh orang Islam yang menyerupai perilaku orang di luar Islam. Perilaku ini dilarang agar tidak rancu antara Islam dengan non Islam.
Kalau kita mempelajari konteksnya, larangan penyerupaan itu dalam perkara yang menyangkut aqidah dan ritual ibadah. Sehingga Islam —dan juga agama lain— memiliki ciri khas masing-masing sebagai identitas dan pembeda agama.
Sementara diluar itu —sebagai konsekuensi logis dari hablun minannas atau hubungan sosial sesama manusia— atau dengan kata lain perkara yang masuk kategori budaya, penyerupaan itu tidak bisa dihindarkan.
Jadi, larangan tasyabbuh itu pada aspek aqidah dan ritual ibadah. Sementara budaya —didalamnya ada tradisi, seni, bahasa, pakaian, makanan, dan yang lainnya— tidak masuk dalam kategori tasyabbuh.
Dengan begitu, tak berlaku larangan sehingga dikenai hukuman atas perilaku orang Islam yang melakukan penyerupaan dalam hal budaya. Tegasnya, melakukan perkara hablun minannas itu bukan tasyabbuh.
Karenanya, apakah mau tampil dengan performance kearab-araban, atau kebarat-baratan, juga kecina-cinaan, tidak ada larangan. Tapi, bila pun melakukan, sebaiknya cukup sewaktu-waktu dan tidak untuk selamanya.
Mengapa? Karena akan lebih baik tampil dengan identitas budaya sendiri. Batik, sarung, dan peci, lebih menunjukkan jatidiri budaya sendiri. Tak perlu menerapkan budaya lain secara terus-menerus. Apalagi menganggapnya sebagai wajib; tersebab tak bisa memilah mana budaya mana agama.
Sekali-kali pakai gamis, jangan dilarang. Sekali-kali berpenampilan ala koboi Texas, biarkan. Sekali-kali memakai baju koko (yang ternyata berasal dari Cina), tak perlu dipersoalkan.
Sekali-kali main gambus, ayo. Sekali-kali menari tango, silakan. Sekali-kali mainkan barongsai, engak apa-apa. Wong semua itu cuma budaya kok. Bukan ritual ibadah. Apalagi tauhid.

Rambut Nabi Muhammad saw panjangnya sebahu. Beliau suka menyisirnya dengan model tarik belakang seluruhnya. Ketika melihat gaya orang Yahudi dengan gaya sisir belah tengah besar ke kanan, dan itu terasa lebih keren, beliau pun menyisir rambutnya dengan model demikian.
Saya sebaliknya, suka menyisir rambut dengan gaya tarik belakang semua. Ini terinsipirasi dari gaya Chow Yun Fat saat memerankan Mark Gor dalam film A Better Tomorrow. Gaya sisir Nabi meniru gaya Yahudi. Gaya sisir saya meniru aktor Hongkong. Tasyabbuh?
Anggapan perilaku tasyabbuh yang paling populer adalah larangan bagi umat Islam merayakan tahun baru (Masehi) dengan terompet. Karena itu dianggap sebagai kebiasaan orang Yahudi. Juga dilarang merayakan tahun baru dengan petasan. Karena itu dianggap sebagai kebiasaan orang Nasrani.
Lalu mengajak dan melakukan perayaan pergantian tahun baru (Hijriyah) dengan pawai malam hari menggunakan obor. Nyala api dimana-mana. Tanpa sadar, tradisi dan pemuliaan atas api adalah bagian dari inti ajaran agama Majusi. Tasyabuh? Bukan! Itu mah standar ganda!
Lain halnya dengan budaya sendiri, yang adalah sebagai identitas etnis. Wayang, jaipong, lenong, topeng, karawitan, gamelan, bedug lojor, angklung buhun, merupakan produk budaya. Menyukai seni, bukan bagian dari tasyabbuh.
Saya menyukai wayang, khususnya wayang golek. Saking sukanya, kerap menonton hingga tuntas. Biasanya dimulai sekitar pukul 22.00 WIB dan selesai menjelang subuh. Bagian yang paling ditunggu adalah kemunculan para punakawan; Semar, Cepot, Dawala, dan Astrajingga.
Pantang pulang sebelum para punakawan itu keluar. Kalau mereka sudah dimainkan, penonton tak henti terpingkal. Selain lucu, sang dalang kadang menyelipkan pesan-pesan moral, juga pesan agama. Wayang menjadi media dakwah.
Saya juga menyukai musik dan tari jaipong. Bahkan ketika SD, kerap tampil dalam acara kenaikan kelas, ngibing mengiringi Daun Pulus, Serat Salira, atau Awet Rajet.
“Rumah tangga jeung manèhna. Geus teu kaitung lilana. Ti bujangan jeung parawan. Nepi ka geus reuay anak”. Bang bang kutimpak, blekuk!“. Tarik, Ka Rojak..!
*Penulis adalah warga biasa.